Kamis, 08 Mei 2008

Era Informasi

Keluarga dan Budaya Informasi
Oleh : Gunawan Trihantoro, S.Pd.I.


Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau akan menuju kepada masyarakat informasi (information society) sebagai kelanjutan atau perkembangan dari masyarakat industrial atau modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut belum cukup.

Pada masyarakat informasi, manusia selain harus memiliki cirri-ciri masyarakat modern pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu menguasai dan mampu mendayagunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Dalam era (globalisasi) informasi ini, menurut Azyumardi Azra (1999), manusia sangat bergantung kepada informasi. Semua bidang kehidupan manusia dikuasai oleh informasi.

Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan masyarakat. Penggunaan teknologi elektronika seperti televise, computer, faksimile, internet, dan lain-lain telah mengubah lingkungan yang bersifat internasional, mendunia, dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan computer orang memasuki lingkungan informasi dari seluruh dunia. Computer bukan saja sanggup menyimpan informasi dari seluruh dunia, melainkan juga sanggup mengolahnya dan menghasilkannya secara lisan, tulisan, bahkan visual.

Peran media elektronik yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara tradisional yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah, dan sebagainya. Computer dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasihat, juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar.

Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengauh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki masyarakat modern. Dari keadaan ini semua masyarakat suatu bangsa dengan bangsa lain menjadi satu baik dalam bidang social, budaya, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.

Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana, prasarana, dansebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh keluarga sebagai pusat pendidikan anak yang pertama dan utama.

Keluarga dan Era Informasi
Orang tua, menurut Zakiyah Daradjat (2000), merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.

Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Sebagai unsure pokok dalam pendidikan, keluarga –dalam hal ini orang tua- memainkan peran penting dan terbesar dalam melaksanakan tanggungjawab pendidikan.

Keluarga berpotensi besar yang amat strategis dalam penciptaan masyarakat informasi. Dengan jumlah anggota keluarga yang dimiliki (anak-anak), orang tua dapat mengarahkan perkembangan proses terciptanya masyarakat informasi secara lebih positif.

Karena begitu banyak dan luasnya fenomena yang terjadi era informasi ini dengan segala bentuknya yang beraneka ragam, seorang pengikut linguistic modern, Dr. Maximus, berdoa untuk keselamatan dunia, “Ya Tuhan, lindungilah kami agar tidak tenggelam dalam samudera informasi”, karena selama ini belum pernah ada yang mengancam jiwa kita, yang menghantui dan memenuhi imajinasi di benak kita, serta yang menghina keberadaan intelegensi kita seperti yang telah dilakukan oleh informasi (Parvez Manzoor, 2000).

Pada era ini, keluarga di Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan akibat masuknya nilai-nilai baru yang sering bertentangan dengan budaya bangsa. Persaingan ini terjadi dalam keadaan tidak seimbang. Budaya nasional harus bersaing dengan budaya global yang didukung teknologi canggih dan dana sangat besar.

Wajah keluarga saat ini mulai berubah. Perkembangan jaman yang mengubah gaya hidup masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami-istri, pola asuh, dan pendidikan anak tidak bisa lagi mempertahankan pola lama sepenuhnya.

Pengaruh yang diterima suami-istri, juga anak, tidak dapat dipisahkan lagi dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi, anak bisa langsung menerima pengaruh luar, yang tentu saja selalu mempunyai dua sisi: baik dan buruk (SM, 23/4).

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, globalisasi informasi yang telah memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan keluarga harus secepatnya diantisipasi keberadaanya dalam upaya menyelamatkan anak-anak dari dampak negative yang dibawanya. Untuk itu perlu dilakukan upaya strategis, antara lain pertama, mendidik anak di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada upaya melahirkan anak yang kreatif, inovatif, mandiri dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia kompetitif.

Kedua, orang tua di masa mendatang adalah orang tua yang selain memiliki dan memberikan informasi, berakhlak baik dan mampu menjadi tauladan, juga harus mampu mendayagunakan berbagai produk teknologi informasi untuk lebih memajukan pendidikan anak.

Ketiga, orang tua harus mampu mengintegrasikan keseluruhan potensi yang dimiliki anak yang memungkinkan ia dapat memiliki pribadi yang utuh. Hal ini penting karena kehidupan masa mendatang banyak dihadapkan pada tantangan yang bersifat moral. Untuk itu, perlu ditanamkan pada anak tentang akhlak tasawuf. Wallahu a’lam.

Nasionalisme Pemimpin

Diperlukan Pemimpin Berjiwa Nasionalisme
Oleh : Guinawan Trihantoro, S.Pd.I.

Nasionalisme Indonesia, setidaknya setelah 60 tahun proklamasi kemerdekaan tidak lepas dari berbagai terpaan masalah. Secara eksternal globalisasi, merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari.

Globalisasi sering dianggap mengancam nasionalisme. Ciri utama globalisasi yang menyebabkan makin pudarnya batas-batas nasional dipandang mempengaruhi kesetiaan orang pada negara atau nasionalisme. Orang semakin berfikir global dan melayani kepentingan ekonomi dan politik global daripada kepentingan nasional negaranya.

Kelahiran Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar, tak bisa dilepaskan dari imagi. Tanpa imagi, tak mungkin belasan ribu pulau dengan kekayaan keberagaman dapat bersatu di bawah satu bendera merah-putih. Imagi inilah yang melahirkan rasa nasionalisme di seantero masyarakat, dari sabang sampai merauke. Pandangan Benedict Anderson tentang imagined communities dapat mengilustrasikan tentang bagaimana imagi dapat berperan dalam terbentuknya sebuah bangsa dan negara.

Menurut Ernest Renan, timbulnya nasionalisme didasarkan kepada perasaan menderita bersama (having suffered together), sehingga dirasa perlu menjemput kegemilangan asasi (genuine glory). Ronald H. Chilote, dalam Teori Perbandingan Politik, penelusuran paradigma membagi pemahaman nasionalisme menjadi empat pendekatan; Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Nasionalisme Pembangunan Politik, yaitu bertujuan memberikan impulls ideologi dan motivasi bagi pembangunan. Nasionalisme terbangun pada pola-pola penanaman perilaku sehingga orang-orang tidak hanya mengenali bangsa mereka dengan bangga, namun juga rasa hormat dan patuh kepada pemegang kewenangan dan legitimasi pemerintahan. Nasionalisme Pembangunan Ekonomi, melalui permintaan produksi serta konsumsi dengan tingkat-tingkat yang lebih tinggi dan gaya yang lebih beragam, pemerataan distribusi dan derajat-derajat spesialisasi. Nasionalisme Pembangunan Sosial, melalui perhatian kepada kesenjangan antar kelas serta potensi mobilisasi dan agregasi. Dan pada Pembangunan Nasionalisme Budaya melalui pembangunan psikologis, menandainya penguatan sumber daya manusia, melalui lembaga pendidikan, serta pola-pola kehidupan pemikiran umum yang dibentuk oleh pengalaman keseharian maupun pengalaman generasi ke generasi.

Bangsa Indonesia telah menjalani sejarah yang cukup panjang. Dalam rentang perjalanannya, bangsa ini telah mengalami dinamika pasang-surut. Dalam dinamika itu, bangsa ini telah mengalami kemajuan. Akan tetapi, sebagai bangsa yang hidup bersama dengan bangsa lain, kita patut berkaca kepada negara lain. Ketika itu, kita akan mengerti bahwa bangsa lain lebih maju dibandingkan kemajuan yang terjadi pada bangsa kita. Karena itu, kita membutuhkan langkah-langkah mendasar untuk meningkatkan percepatan kemajuan bangsa ini agar tidak tertinggal semakin jauh.

Hal mendasar yang mungkin harus dibangun untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi bangsa ini adalah dengan menyiapkan dan mencetak kepemimpinan yang berjiwa nasionalisme. Pemimpin yang berjiwa nasionalisme merupakan langkah yang sangat fundamental dan strategis untuk menciptakan masa depan bangsa Indonesia yang lebih cerah.

Kemampuan kepemimpinan efektif yang berjiwa nasionalisme merupakan kebutuhan mutlak bagi kemajuan bangsa Indonesia apalagi menghadapi krisis multidimensi yang belum selesai ditangani dalam perkembangan strategis global.

Karena itu, kemampuan kepemimpinan dimaksud perlu terus dilatih dan dikembangkan, menghadapi perkembangan tantangan globalisasi dan pengaruhnya, serta kompetensinya yang begitu ketat dan cepat, di samping krisis multidimensi yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi.

Sesungguhnya bangsa Indonesia memiliki jejak sejarah yang layak untuk diteladani. Bahkan harus diakui, sejarah masa lalu telah menampilkan pendiri bangsa yang harus diteladani karena jiwa nasionalismenya mereka sebagai pejuang yang tak hanya hebat, tetapi juga ulet dan teguh pendirian. Jiwa nasionalisme yang kuat dalam dirinyalah yang membuat mereka tak bisa didikte oleh bangsa lain. Sehingga dengan percaya diri merancang masa depan bangsanya sendiri. Mereka adalah the golden generation yang melakukan perjuangan demi bangsa berdasarkan hati nurani, kecerdasan dan wawasan yang komprehensif. Mereka cerdas dan berwawasan luas karena mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa nasionalisme.

Kalau dulu pemimpin dan penyelenggara Negara yang dijajah merasa dihinakan, baik secara psikologis dan fisik yang menyengsarakan. Tetapi hal itu tidak terjadi pada sebagian besar pemimpin dan penyelenggara Negara kita sekarang. Elit negara yang secara yuridis telah berdaulat justru merasa mulia karena mereka hidup dalam kelimpahan harta yang diperoleh melalui praktek kolusi dengan elite korporasi. Mereka sudah merasa menjadi tuan, walaupun sesungguhnya hanya menjadi budak untuk menghisap dan mengeksploitasi kekayaan negeri sendiri.

Inilah penyebab utama bangsa ini tidak mampu menjadi bangsa yang mandiri. Ketergantungan kepada pihak asing justru tampak semakin besar. Ini terlihat dari orientasi solusi yang diambil oleh para pemimpin dan penyelenggara negara dalam menyikapi setiap peningkatan kebutuhan. Impor beras menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan beras. Demikian juga menghadapi kekurangan gula dan daging sapi. Padahal ada solusi strategis yang lebih tepat, yaitu dengan meningkatkan produksi lewat pengelolaan pertanian dan peternakan secara intensif. Jika itu menjadi pilihan, biayanya lebih rendah dan menghemat devisa.

Realitas lain yang sangat memprihatinkan adalah ditemukannya deposit tembaga dan emas di tanah Papua. Dan deposit tersebut justru dipersembahkan untuk freeport. Begitu pula cadangan minyak di Cepu, malah diserahkan ke Exxon Mobil. Ini karena sikap inlander sebagian pemimpin kita yang tidak mampu mengelola sumber daya alam sendiri. Padahal dengan dukungan tenaga-tenaga ahli dan permodalan yang tersedia, kekayaan alam tersebut mampu dikerjakan sendiri dan bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam kontek inilah, jiwa nasionalisme adalah faktor yang sangat signifikan dalam pembangunan bangsa. Tak kurang referensi, baik berupa bukti konkret maupun dalam literatur yang mendukung bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara jiwa nasionalisme pemimpin dengan suatu bangsa. Maka bangsa Indonesia perlu mengembangkan strategi dan kemampuan kepemimpinan yang berjiwa nasionalisme bagi seluruh komponen bangsa pada berbagai sektor dan tingkatan, agar memiliki kasadaran untuk memajukan bangsa Indonesia secara bersama-sama dan mandiri. Semoga.

Dikpol

PENDIDIKAN POLITIK:
MENAKAR NASIONALISME GENERASI MUDA
Oleh : Gunawan Trihantoro

Suatu bangsa yang merdeka, yang ingin maju dan berkembang serta terjamin hidupnya, haruslah memiliki keyakinan terhadap kebenaran yang dianutnya, baik sebagai bangsa maupun pribadi, dan yang menjadi pedoman bagi kehidupan dan penghidupannya baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Keyakinan itu menjadi pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.

Bagi bangsa Indonesia, keyakinan akan nilai kebenaran seperti itu pada hakikatnya telah tersurat dan tersirat dalam pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang memberikan tuntunan sekaligus kesadaran atau pandangan tentang bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menempuh atau menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara serta tujuan apa yang hendak dicapai dalam hidupnya.

Pokok-pokok pikiran bangsa inilah yang kemudian melandasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan atas dasar kesepakatan nasional pada tanggal 18 Agustus 1945 diterima oleh bangsa Indonesia sebagai satu-satunya pandangan hidup yang dirumuskan sebagai Pancasila. Hal itu berarti bahwa Pancasila yang penyebarannya terurai dalam dasar negara, yaitu UUD 1945. Secara resmi menjadi sumber hukum dan moral yang mengikat se;uruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, dan oleh karena itu, harus dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila yang tidak lain merupakan tuangan hati nurani dan sifat khas karakterisitik bangsa, secara hakiki tidaklah lahir pada saat tercapainya kemerdekaan, tetapi ia telah tumbuh dan berkembang melalui proses yang panjang.

Dikpol bagi Generasi Muda
Pada prinsipnya pendidikan politik (dikpol) bagi generasi muda merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menjunjung kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik itu juga harus merupakan bagian proses pembaharuan kehidupan politik banga Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang bena-benar demokratis, stabil, dinamis, efektif, dan efisien.

Sebenarnya, pendidikan politik itu secara alamiah telah berjalan dan tetap akan berlangsung terus melalui berbagai interaksi sosial dalam masyarakat yang dikenal sebagai proses penghayatan nilai. Melalui penghayatan itulah generasi muda belajar, mendalami, dan melatih diri serta meyakini bahwa nilai-nilai itu adalah nilai yang terbaik dan paling sesuai dengan kondisi obyektif.alam pikiran dan perasaannya serta menurut hati nurani maupun penalarannya benar-benar merupakan bagian hidupnya.

Disinilah letak peran pendidikan politik itu. Ia berfungsi untuk lebih memberi isi dan arah pengertian kepada proses penghayatan nilai yang sedang berlangsung. Dalam hubungan ini, jelas bahwa pendidikan politik yang dimaksud ditekankan kepada usaha mendapatkan pengeritian tentang nilai yang etis-normatif, yaitu dengan menanamkan nilai dan norma yang merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonesia serta dasar untuk membina dan mengembangkan diri guna ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan bangsa dan negara.

Dalam kaitannya dengan masa depan, hal itu perlu dalam rangka menjawab tantangan, terutama kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin lama makin maju, dan kemajuan itu selain memiliki nilai positifnya juga mengandung aspek negatif. Selain itu, dengan pendidikan politik ini diharapkan bahwa generasi muda secara dini dapat dipersiapkan untuk dengan penuh ketangguhan menghadapi setiap ancaman yang bersumber dari berbagai ideologi politik yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Nasionalisme sebagai cita-cita bangsa dalam konteks Indonesia merupakan konsensus sosial-politik yang melampaui karakter rasial, keagamaan, dan berbagai latar belakang sosial-ekonomi lainnya yang terbentuk melalui fase-fase sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di bawah mainstream pemikiran the founding fathers dalam perjuangannya menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Perjalanan bangsa yang cukup panjang menuju cita-cita itu pada gilirannya selalu berhadapan dengan situasi-situasi baru, dimana hal itu tidak selalu memberikan semangat dan kekuatan yang menguntungkan. Bahkan sebaliknya menjadi ancaman yang signifikan bagi keutuhan bangsa yang sesungguhnya telah menemukan jati diri nasionalisme, seperti Indonesia yang tertuang dalam banyak naskah bersejarah dimana hal itu dapat kita pahami sebagai bentuk penegasan komitmen sosial di atas prinsip-prinsip konsepsi nasionalisme waktu itu.

Menurut Ahmad Doli Kurnia, nasionalisme yang sudah dibangun oleh the founding fathers, betapa dekade terakhir terasa semakin redup dari republik ini. Salah satu kritik atas meredupnya nyala api nasionalisme tersebut, tak pelak lagi kerap dialamatkan pada praktik dan budaya kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan yang diterapkan oleh sebagian elit politik, penyelenggara negara, serta gaya hidup sebagian kalangan elit yang menimbulkan kecemburuan sosial segolongan masyarakat. Akibatnya mereduplah sikap dan perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa.

Platform negara kebangsaan pun mendapat gugatan serius relevansinya. Selain itu, merebaknya praktik pemerintahan yang kerap memanipulasi nasionalisme, KKN, dan aneka kultur kekerasan yang dilakukak negara, tak pelak lagi merupakan faktor penting runyamnya national building yang kemudian merontokkan bangunan nasionalisme generasi muda kita akhir-akhir ini. Sebagian akibat kesalahan penerapan manajemen pemerintahan lama yang arogan dan otoriter.

Di samping itu, arus deras globalisasi juga telah mempengaruhi bangunan nasionalisme bangsa-bangsa saat ini. Termasuk nasionalisme Bangsa Indonesia, globalisasi juga melanda generasi muda dan cenderung menggerus wacana nasionalisme-nya. Kecenderungan yang terjadi akibat gempuran globalisasi ini sangat beragam, bahkan mengancam keberlangsungan NKRI. Munculnya kesenjangan sosial ekonomi dan berujung pada gerakan sparatisme memberikan gambaran kepada kita bahwa gelombang globalisasi ini sangat dahsyat.

Sejumlah analisa atas perkembangan dinamika sosial politik Indonesia kontemporer, khususnya terkait dengan perkembangan terkini nasionalisme generasi muda indonesia, kiranya sangat menarik untuk kita renungkan. Terlebih dalam kondisi dimana bangsa kita belum juga mampu menciptakan stabilitas sosial politik secara permanen di usia yang sejatinya sudah mencapai taraf kedewasaan dalam kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Fenomena ini setidaknya dapat kita lihat dan rasakan pada situasi sekarang, yakni mencuatnya sentimen priomordial di sejumlah daerah di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, yang biasanya dimainkan melalui isu pemerataan pembangunan. Sentimen-sentimen primordial tersebut, belakangan ini semakin memperlihatkan keberaniannya melalui fakta maraknya konflik sosial yang kerap terjadi. Celakanya hal itu terjadi pada kondisi bangsa yang tengah mengalami keterpurukan akibat krisis multidimensi.

Untuk itu, kita perlu melakukan langkah-langkah konstruktif dan realistis terhadap situasi yang menggambarkan fenomena berkembangnya proses reduksi prinsip nasionalisme di Indonesia saat ini. Ada dua hal yang mungkin bisa kita lakukan secara konsepsional. Pertama, melakukan penguatan kembali bangunan nasionalisme generasi muda dengan wajah barunya yang lebih menarik dan kontekstual, yakni melalui pendidikan politik dalam upayanya melakukan pemantapan wawasan kebangsaan mereka, terutama guna melunakkan ancaman arus globalisasi.

Kedua, memberikan pencerahan bagi bangsa kita, khususnya generasi muda yang kini mengalami kegelisahan berkepanjangan akibat gejolak sosial politik bangsa yang terus berjalan tantpa arah yang jelas, sejak terjadinya perubahan radikal di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai efek domino dari dinamika sosial politik di era reformasi sekarang. Wallahu a’lam.